Beranda | Artikel
HAJI BADAL dan HAJI KOBOI (Tidak Resmi)
Jumat, 4 September 2015

Khutbah Jum’at Masjid Nabawi 20/11/1436 H – 4/9/2015 M
Oleh : Asy-Syaikh Sholah Al-Budair hafizohullah

Khutbah Pertama

          Kaum muslimin sekalian, haji adalah salah satu dari 5 rukun Islam yang di atas rukun-rukun tersebut dibangun Islam. Haji wajib dikerjakan oleh mukallaf yang mampu sekali seumur hidup.

Siapa yang terkena kewajiban haji, dan mungkin untuk mengerjakannya, maka ia harus segera melaksanakannya. Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhumaa bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

مَنْ أَرَادَ الْحَجَّ فَلْيَتَعَجَّلْ، فَإِنَّهُ قَدْ يَمْرَضُ الْمَرِيْضُ وَتَضِلُّ الضَّالَّةُ وَتَعْرِضُ الْحَاجَةُ

“Siapa yang hendak berhaji maka bersegeralah, karena bisa jadi seseorang sakit, atau tunggangannya hilang, atau datangnya keperluan” (HR Ahmad dan Ibnu Majah)

Siapa yang meninggal sebelum menunaikan ibadah haji –sama saja apakah karena kelalaiannya atau tidak, apakah ia berwasiat atau tidak- maka diambil dari hartanya untuk haji dan umroh. Dari Ibnu Abbas semoga Allah meridoinya, ada seorang wanita bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang ayahnya yang meninggal namun belum berhaji, maka Nabi bersabada : حُجَّ عَنْ أَبِيْكِ “Hajikan ayahmu!”.

Siapa yang mampu untuk haji sendiri maka tidak boleh ia mewakilkan orang lain untuk menghajikannya. Siapa yang telah terpenuhi padanya syarat-syarat wajib haji dan tidak mampu untuk haji sendiri karena ada udzur yang tidak bisa hilang, seperti penyakit yang kronis atau ditimpa penyakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya, atau tidak mampu untuk naik kendaraan kecuali dengan memaksakan diri dengan kesulitan yang tidak bisa dipikulnya, atau sudah sangat tua, maka wajib baginya untuk mewakilkan kepada orang yang menghajikan dan mengumrohkannya. Dari Ibnu Abbas semoga Allah meridhoinya ada seorang wanita berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :

إِنَّ فَرِيْضَةَ اللهِ عَلَى عِبَادِهِ فِي الْحَجِّ أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخًا كَبِيْرًا لاَ يَسْتَطِيْعُ أَنْ يَثْبُتَ عَلَى الرَّاحِلَةِ، أَفَأَحُجُّ عَنْهُ؟

“Sesungguhnya kewajiban yang Allah wajibkan terhadap hamba-hambaNya yaitu haji telah mengenai ayahku yang sudah sangat tua, ia tidak mampu untuk naik tunggangan, maka apakah aku menghajikannya?”
Nabi berkata : نَعَمْ “Iya” (HR Al-Bukhari dan Muslim)

Jika ia telah mewakilkan orang lain untuk menghajikannya, kemudian ternyata iapun sembuh maka tidak wajib baginya untuk berhaji lagi, karena ia telah melakukan sesuai dengan yang ia diperintahkan sehingga ia telah terlepas dari tanggung jawab.

Siapa yang berharap mampu untuk berhaji sendiri atau diharapkan sembuh penyakitnya maka tidak boleh baginya untuk mewakilkan hajinya, jika ia tetap mewakilkan maka tidak sah.

Seorang miskin yang tidak memiliki biaya untuk haji maka tidak wajib haji baginya dan tidak meminta orang lain untuk menghajikannya, dan tidak dihajikan (meskipun tanpa permintaan si miskin), namun tidak mengapa jika dibantu untuk biaya hajinya.

Siapa yang dibantu biaya hajinya, dan jika ia menerima bantuan maka donaturnya tidak menunjukkan sikap berjasa kepadanya serta tidak ada kemudorotan baginya, maka tidak mengapa ia menerima bantuan tersebut dan menunaikan ibadah haji.

Seseorang yang belum haji Islam (haji pertama) maka tidak boleh ia menghajikan orang lain, jika ia tetap menghajikan orang lain maka hajinya tersebut terhitung untuk dirinya sendiri, berdasarkan hadits Ibnu Abbas –radhiallahu ‘anhumaa- : Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendengar seorang lelaki berkata :  لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَة “Ya Allah aku memenuhi panggilanmu untuk menghajikan Syubrumah”, maka Nabi bertanya kepadanya مَنْ شُبْرُمَةُ؟ “Siapakah Syubrumah?”, lelaki itu berkata, قَرِيْبٌ لِي “Kerabatku”, Nabi berkata, هَلْ حَجَجْتَ قَطٌّ؟ “Engkau sudah pernah haji?”, lelaki itu berkata, لاَ “Belum”, Nabi berkata,

فَاجْعَلْ هَذِهِ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ احْجُجْ عَنْ شُبْرُمَةَ

“Jadikanlah haji ini untuk dirimu kemudian berhajilah untuk Syburumah !” (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Dan tidak mengapa mengambil upah tatkala menghajikan orang lain, dan yang lebih utama adalah yang menghajikan hanya mengambil biaya haji saja dari yang mewakilkan tanpa mengambil upah.

Dan tidak sah ihrom (haji atau umroh) untuk dua orang, maka siapa yang berihrom dalam satu nusuk (haji atau umroh) untuk dua orang maka terhitung ihromnya hanya untuk dirinya.

Jika ia berihrom untuk umroh untuk seseorang lalu ia bertahallul dari umrohnya, setelah itu ia berihrom untuk berhaji untuk orang yang lain lagi maka sah, karena ini adalah dua nusuk.

Dan disukai seseorang menghajikan kedua orang tuanya jika keduanya telah meninggal atau tidak mampu lagi, maka ia mulai dengan menghajikan ibunya karena ibu lebih didahulukan dalam berbakti, dan ia mendahulukan haji wajib untuk ayahnya dari menghajikan haji sunnah untuk ibunya.

          Tidak boleh bagi seseorang melarang istrinya untuk berhaji jika istrinya mendapati mahrom, karena adanya mahrom merupakan syarat kemampuan haji bagi wanita.

Al-Imam Malik rahimahullah berkata : تَخْرُجُ مَعَ جَمَاعَةِ النِّسَاءِ Sang wanita keluar bersama jama’ah para wanita.

Wanita yang suaminya meninggal maka tidak boleh keluar untuk berhaji selama di masa ‘iddah, karena masa ‘iddah tidak terulang lagi, sementara kesempatan haji bisa berulang lagi.

Jika sampai kabar kepada sang wanita tentang wafatnya suaminya sementara jarak yang ia tempuh untuk haji masih dekat maka hendaknya ia kembali untuk menyelesaikan masa ‘iddah di rumahnya, jika ternyata ia telah jauh maka ia melanjutkan safarnya.

          Siapa yang punya hutang yang telah jatuh tempo untuk dilunasi maka ia mendahulukan melunasi hutangnya daripada haji, kecuali yang memberi hutangan mengizinkannya. Dan siapa yang hutangnya dibayar secara kredit dan ia mampu untuk membayarnya setiap iuran kreditnya pada waktunya maka ia tetap berhaji dan tidak disyaratkan izin dari pemberi hutang.

Kaum muslimin sekalian…meninggalkan haji sunnah dan umroh sunnah di waktu padatnya jama’ah haji dengan niat untuk memberi kelonggaran bagi para jemaah yang lemah, para wanita, para jamaah yang sakit, dan kaum manula yang datang untuk menunaikan kewajiban haji adalah lebih dekat kepada kebajikan, kebaikan, ganjaran dan pahala, karena melaksanakan haji sunnah dan umroh sunnah hukumnya adalah sunnah, dan menjaga diri jangan sampai mengganggu muslim yang lain adalah wajib.

Dari Abdurrahman bin ‘Auf radhiallahu anhu ia berkata : Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadaku :

كَيْفَ صَنَعْتَ فِي اسْتِلاَمِ الْحَجَرِ؟

“Apa yang kau lakukan dengan mengusap hajar aswad?”

Aku berkata : اِسْتَلَمْتُ وَتَرَكْتُ “Aku mengusapnya dan aku juga tidak mengusapnya”

Nabi shallallahu ‘alahi wasallam berkata, أَصَبْتَ “Engkau telah benar” (HR Ibnu Hibban)

Maknanya yaitu beliau mengusap hajar aswad tatkala kondisi tidak ramai (padat) dan beliau meninggalkan tidak mengusap tatkala kondisi lagi padat, maka sikapnya ini dibenarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dan sedekah lebih baik daripada haji sunnah dan umroh sunnah jika ada kerabat yang lagi membutuhkan, atau lagi musim kelaparan, atau ada dari kaum muslimin yang darurat perlu sedekahnya atau membutuhkan untuk diberi bantuan.

Suatu hari Abdullah bin Al-Mubarok keluar untuk pergi berhaji, lalu ia melihat seorang wanita kecil yang mengambil burung yang telah mati (bangkai) yang terbuang di tempat sampah, lalu Ibnul Mubarok bertanya hal tersebut kepadanya, maka wanita kecil tersebut berkata : “Saya dan saudara perempuanku di sini, kami tidak memiliki makanan kecuali dari mengais makanan yang dibuang di tempat sampah ini. Maka Ibnul Mubarok pun memerintahkan untuk membawa kembali bekal bawaannya untuk berhaji dan untuk memberikan biaya hajinya kepada wanita kecil tersebut. Dan beliau berkata, “Ini adalah lebih baik daripada haji tahun ini”, lalu iapun kembali pulang (tidak hajian).

          Kaum muslimin sekalian, siapa yang tidak mendapatkan surat izin untuk berhaji dari lembaga yang resmi maka hendaknya wajib baginya untuk menunda hajinya hingga ia mendapatkan surat izin haji. Karena siasat yang syar’i mengharuskan untuk membatasi jumlah kuota jemaah haji dan jama’ah umroh dalam rangka untuk menghindari kepadatan dan saling dorong mendorong, dan mencegah terjadinya kekacauan.

Wahai kalian yang menempuh cara dusta, bohong, dan licik, serta menyogok, demi terlepaskan dari peraturan-peraturan haji…

Wahai kalian yang menempuh bukit-bukit terjal, dan jalan-jalan yang berbahaya agar bisa lari dari lokasi-lokasi chek point (pemeriksaan) yang tidaklah diletakkan kecuali untuk kemaslahatan haji, keamanan dan keselamatan para jama’ah haji…

Wahai kalian yang menyelisihi syari’at dan kalian melanggar batasan-batasan Allah serta kalian melakukan perkara yang haram, kalian melewati miqot dan lokasi pemeriksaan tanpa ihrom…

Maka haji model apakah yang kalian inginkan?, pahala manakah yang kalian inginkan…?, ganjaran apakah yang kalian harapkan?, sementara kalian berdusta, berbuat kelicikan, dan kalian menyelisihi ??

Wahai kalian para supir yang membawa orang-orang yang menyelisihi dan menyelinap yang mereka ingin berhaji tanpa tashrih (surat izin), maka bayaran bagi kalian adalah penghasilan yang buruk, dan harta yang haram, serta merupakan dosa dan keharaman?. Berhentilah kalian dari perbuatan yang tercela ini, dan lihatlah perkara-perkara dengan pandangan orang yang berakal dan hikmah serta penuh pertanggungjawaban. Waspadalah kalian dari mencari alibi-alibi yang lemah, dan tatkala berdebat maka alibi-alibi tersebut lebih lemah daripada sarang laba-laba, yang hanya mengantarkan kepada pemilik alibi tersebut kepada kalah debat dan terdiam.

Ya Allah ilhamkanlah kepada kami kelurusan sikap kami, dan lidungilah kami dari keburukan jiwa-jiwa kami, wahai Yang Maha Mulia, Yang Maha Agung, dan Maha Pengasih.

 
Khutbah Kedua

          Kaum muslimin sekalian, hendaknya kalian berpegang teguh dengan sunnah-sunnah yang bersanad, yang diriwayatkan oleh para perawi yang terpercaya dan kuat hapalannya, dan jauhilah bid’ah-bid’ah dan perkara-perkara baru dalam agama…

Betapa banyak orang-orang yang berkumpul di atas bid’ah dan beramai-ramai, serta berpaling dari sunnah-sunnah dan memisahkan diri…

Sungguh jauh dari sunnah suatu kaum yang menuju kuburan-kuburan dan mengharapkan para penghuni kubur…

Mereka mengarahkan hati dan wajah mereka kepada kuburan…, mereka menjadikan kuburan sebagai sandaran dan tempat mengadu kesulitan mereka…, tempat bersandar bagi mereka…sebagai pintu dan sebagai hijab (perantara) dan sebagai tempat pengharapan…

Mereka sujud di ambang pintu masuk kuburan, dan mereka menyembelih di pintu-pintu kuburan, mereka towaf di seputar dinding kuburan, mereka mengharapkan dari kuburan hilangnya kesulitan mereka, keberkahan, curahan karunia…

Suatu bid’ah yang namanya adalah bid’ah quburiyah, dan asalnya adalah paganisme (penyembahan terhadap berhala). Para imam dan para guru-guru Islam, Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad telah sepakat bahwa hal ini merupakan bid’ah yang sangat buruk yang bertentangan dengan syari’at.

Sementara Rabb kita yang mulia mencurahkan karuniaNya dan maha mendengar do’a tanpa ada perlu pemberi syafaat dan tidak pula perantara, tidak para nabi dan tidak pula para wali.

          Wahai para penziarah masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam…waspadalah kalian dari perbuatan mengusap-ngusap di tembok-tembok masjid, pintu-pintunya, dan kuburan Nabi serta mihrab-mihrabnya. Sesungguhnya keberkahan tidak diperoleh dengan mengusap-ngusap dinding. Waspada jangan sampai kalian mencari keberkahan dari tanah kuburan atau menjadikan tanah tersebut sebagai obat, atau melemparkan makanan atau biji-bijian serta uang ke atas kuburan-kuburan tersebut atau meminta-minta penghuni kuburan, karena hal ini merupakan perbuatan orang-orang jahil.

Semoga Allah menerima amal usaha kalian, dan memberikan ganjaran bagi kalian, dan Allah menerima doa kalian dengan keridoan dan pengabulan.

Penerjemah: Abu Abdil Muhsin Firanda
www.firanda.com

Logo

Artikel asli: https://firanda.com/1495-haji-badal-haji-koboi-tidak-resmi.html